Senin, 18 Januari 2021

Pangeran Diponegoro Menolak Jadi Raja

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut Pangeran Diponegoro merupakan sosok yg mempunyai prinsip serta karakter luar biasa. Terutama ketika ia menolak tawaran sang ayah untuk menjadi raja serta lebih memilih meninggalkan Kraton Ngayogyakarta Hadininigrat. Ia akhirnya tinggal di Desa Tegalrejo, Yogyakarta.

Demikian disampaikan Kiai Said dalam gelaran Haul Ke-166 Pangeran Diponegoro yg digelar dengan cara daring Jumat (15/1) malam. Pada peluang ini, Kiai Said juga membahas biografi pendek Diponegoro.

 Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 serta wafat di Makassar 8 Januari 1855. Usianya 69 tahun. Dilahirkan dari seorang ibu, Raden Ayu Mangkarawati dari Pacitan serta Gusti Raden Mas Suraja atau Sri Sultan Hamengkubuwana III," papar Kiai Said.

Mangkarawati merupakan selir dari Hamengkubuwana III. Ia seorang putri dari Bupati Pacitan serta tetap mempunyai ikatan darah dengan Sunan Ampel, Surabaya. Makamnya berada di Astana Imogiri, Yogyakarta, satu kompleks dengan makam sang suami.

Pangeran Diponegoro bernama lahir Bendara Raden Mas Mustahar atau Abdul Hamid. Lalu diubah menjadi Bendara Raden Mas Ontowiryo. Kemudian ketika sang ayah naik tahta, ia ditetapkan sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Haryo Diponegoro. Kelak, ia mempunyai gelar sebagai Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirulmukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi.


Setelah menolak harapan sang ayah untuk menjadi raja, Pangeran Diponegoro keluar dari keraton serta memilih tinggal di Desa Tegalrejo. Berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya yakni Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau selir dari Sri Sultan Hamengkubuwana I.

"Di sinilah Pangeran Diponegoro mempunyai sikap serta karakter luar biasa, beliau diberi petunjuk serta kekuatan Allah supaya menolak kehadiran Keraton Yogyakarta yg ketika itu telah dikontaminasi Belanda," tegas Kiai Said.

Waktu itu, Residen Belanda mengendalikan Patih Danurejo untuk dapat menguasai Kraton Yogyakarta. Lalu di sini, kata Kiai Said, mulailah Pangeran Diponegoro keluar dari Kraton serta bersikap untuk melawan VOC Belanda selagi lima tahun, semenjak 1825 hingga 1830.

Menghadapi Pangeran Diponegoro, Belanda mengalami kerugian yg sangat besar. Bahkan hampir bangkrut. Lalu para pengurus VOC Belanda itu mengadakan rapat di Den Haag untuk menuturkan soal bagaimana mengalahkan Khalifatullah Tanah Jawi ini.

"Keputusan (rapat itu) konon ada yg telah tahu watak orang-orang Jawa. Yaitu orang-orang Jawa jangan dilawan serta dikasari sebab kelak dirinya akan melawan serta bertahan. Orang Jawa itu wajib dialem serta dipuji-puji maka kelak dirinya maka lemah," tutur Kiai Said.

Maka benarlah, Pangeran Diponegoro sukses ditipu. Mulanya Belanda mengundang tenang serta Diponegoro sukses diajak damai. Kemudian ia sukses ditangkap di Magelang serta dibawa ke Semarang. Lalu ia dibuang ke Manado serta Makassar.


Jejaring ulama Diponegoro

Sementara itu, penulis buku Jejaring Ulama Diponegoro Zainul Milal Bizawie menambahkan bahwa ketika Diponegoro ditangkap sebetulnya ada sosok yg ikut serta kemudian diperintahkan supaya melarikan diri menghadap Paku Buwana IV. Sosok itu sangat dekat dengan Raja Surakarta Paku Buwana IV yakni Kiai Imam Rozi atau Singo Manjat dari Klaten.

Pada usia 24 tahun, Kiai Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro untuk memerangi Belanda. Ia diangkat sebagai Manggala Yudha atau panglima perang serta sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro serta Paku Buwono IV Surakarta.

Pada ketika Imam Rozi bersama Pangeran Diponegoro ditahan penjajah di Semarang, ia diminta melarikan diri dari tahanan serta menghadap Paku Buwono dengan mengangkat surat dari Pangeran Diponegoro.

Isi surat itu antara lain memohon Paku Buwono menugasinya berdakwah di Surakarta Bagian Barat, mencarikan jodoh untuk mengantarkan perjuangannya, serta disediakan tanah perdikan. Pada tahun 1833, Kiai Imam Rozi melaksanakan tugas itu serta memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal.

"Surakarta tak dengan cara terang-terangan menolong Diponegoro tapi dengan cara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika raja Surakarta Paku Buwono IV itu diperintahkan diminta oleh Belanda untuk menyerang Diponegoro justru mereka malah perang pura-pura, maka seolah melawan Diponegoro. Padahal sebetulnya mempunyai perjanjian untuk saling mendukung sebab ini merupakan usaha bersama," terang Milal.


"Kita tak tahu pesan apa yg disampaikan Diponegoro terhadap Singo Manjat itu. Tapi yg terang itu merupakan suatu pesan untuk disampaikan terhadap para ulama serta kiai yg telah mendukung atau sempat ikut pertempuran Diponegoro," sambungnya.

Milal kemudian membahas jejaring ulama yg menolong usaha Diponegoro. Salah satunya di Indramayu. Di sana ada seorang habaib yg sangat kental dalam menolong usaha Diponegoro.

"Beliau merupakan Habib Umar bin Toha bin Hasan bin Yahya. Seorang yg gagah sekali serta Belanda sangat takut kepadanya. Habib Umar sangat dekat dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi Cikini yg juga sangat dengan bundar usaha habaib yg mendukung Diponegoro," ungkap Milal.

"Kenapa? Karena Habib Cikini ini diambil menantu oleh salah satu saudara termuda dari Raden Saleh. Maka itu makam Habib Cikini berada dekat dengan Masjid yg dibuat Raden Saleh di Jakarta Pusat. Habib Cikini dekat dengan Habib Hasan bin Yahya Pekalongan serta Habib Umar Indramayu," lanjutnya.

Di Pekalongan, kata Milal, ada pula saudara tertua dari Raden Saleh yaitu Habib Alwi bin Yahya. Lalu di Semarang para habaib dari anak cucu Bustaman, tergolong ayah Raden Saleh yakni Habib Husen bin Alwi bin Awal bin Yahya yg juga menjadi tahap dari jejaring usaha Diponegoro.

"Banyak sekali sebetulnya para habaib yg menjadi guru dari Diponegoro ini," tegas Milal.

Berbagai kawasan
Inisiator Haul Diponegoro yg juga merupakan Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud mengatakan, sangat tak sedikit jaringan kiai-kiai pesantren serta mursyid tarekat, tergolong para habaib yg membantuk usaha Diponegoro.

Ia menyatakan beberapa, umpama Kiai Modjo, Kiai Imam Puro, Kiai Muhammad Besari, Kiai Mahfud Termas, Kiai Abdullah Faqih Purwokerto, Kiai Soleh Darat, Syekh Kholil Bangkalan Madura, hingga ke Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

"Kemudian semakin turun temurun hingga ke Kebumen. Ada Kiai Singa Barong, Kiai Nawawi Petanahan, Kiai Abdullah Suyuthi, Syekh Mahfud Somalangu, serta dari Kiai Ngabehi Singadipa, Kiai Mad Salam, Kiai Marzuki. Sampai ke Jawa Barat, Citangkolo Banjar," ungkap Kiai Marsudi.


“Lalu diurut urut ke selatan umpama Cilacap, ada Kiai Asmorosufi, Kiai Arfah Sekonegoro, Gagah Handoko, Kiai Badlawi Kesugihan. Begitu pula para habaibnya, Sayyid Alwi Ba’abud, Habib Abubakar bin Toha Tejokusumo, Habib Toha Cirebon, Habib Umar Indramayu, Habib Hasyim Pepolangan, hingga ke Habib Ali Kwitang," tambahnya.

Dengan kata lain, Kiai Marsudi mengungkapkan bahwa sebetulnya ketika perang Diponegoro waktu itu, tak ada sama sekali dikotomi yg menjadi pemisah antara kiai serta para habaib. Semua menyatu sebab terpanggil untuk jihad membela tanah air.





Previous Post
Next Post

0 comments: